Wirausaha
Tiga bulan yang lalu, tepatnya Februari 2008, saya membuat keputusan signifikan sepanjang kehidupan saya. Yaitu berpindah sisi meja, dari menerima gaji, menjadi memberi gaji alias mendirikan perusahaan sendiri. Padahal kantor tempat saya bekerja merupakan perusahaan terkenal, posisi saya strategis dan menantang, dan lingkungan kerjanya menyenangkan.
Perubahan ini, terutama bagi mereka yang sudah cukup lama bekerja di perusahaan dan sudah berkeluarga, merupakan hal yang menakutkan. Pada waktu kita masih single, kalau ada kesulitan keuangan, yang menderita cukup diri sendiri saja. Sedangkan bila kita sudah berkeluarga, bokek bisa berakibat fatal bagi istri dan anak. Saya pernah mengalami masa melarat dulu di Surabaya sekitar tahun 2001-2002. Saking bokeknya, kami (saya dan teman-teman serumah) tidak punya uang untuk membeli lauk. Hanya ada nasi. Akhirnya, kami memetik daun kelor yang tumbuh di pekarangan dan merebusnya sebagai teman nasi. Jika ada yang memiliki ilmu kebatinan, pasti akan luntur seketika :p. Setelah berkeluarga, tentunya kita ingin memastikan bahwa jangan sampai anggota keluarga kita terpaksa makan sayur daun kelor.
Tidak sedikit teman-teman yang bertanya bagaimana cara melakukan peralihan dari karyawan menjadi wirausahawan dengan mulus. Yah, saat ini saya juga masih belum menjadi pengusaha sukses. Masih berjuang. Tapi ada sedikit pengalaman yang bisa saya ceritakan pada mereka-mereka yang ingin mengikuti jejak saya.
Di jaman serba sulit seperti ini, akan lebih baik jika kita bisa mandiri menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Jadi, semakin banyak pengusaha, semakin cepat Indonesia akan bangkit dari keterpurukan nasional.
Kerja kantoran dulu kemudian buka usaha sendiri berbeda dengan lulus sekolah dan langsung buka usaha. Masing-masing ada plus-minusnya.
Jika kita langsung buka usaha, kita biasanya akan:
-
terbiasa dengan kondisi finansial yang tidak menentu. Kadang kaya raya, kadang melarat.
-
memiliki jiwa sales (ini adalah karakteristik penting yang akan saya bahas lebih lanjut nanti)
-
berorientasi hasil, bukan jam kerja
-
miskin pengalaman, sehingga usaha sulit maju
Sebaliknya, bila kita jadi karyawan dulu, biasanya kita:
-
terbiasa gajian di akhir bulan dengan jumlah fixed.
-
naluri pemburu kurang terasah, kecuali yang bekerja di lini penjualan
-
berorientasi jam kerja, lewat jam kantor masih kerja, hitung lembur
-
sudah mengenal sistem birokrasi kantoran dengan hirarki kekuasaan dan wewenang
-
terbiasa dengan prosedur yang baku (bila bekerja di perusahaan yang rapi)
Masing-masing starting-position memiliki plus minusnya. Yang akan kita bahas sekarang adalah start dari posisi karyawan. Mungkin lain waktu kita akan bahas tentang start langsung jadi pengusaha.
Untuk bisa beralih dengan mulus, ada beberapa persiapan terutama dari aspek pola pikir dan gaya hidup.
Pola pikir yang dibutuhkan adalah:
-
Orientasi terhadap hasil
-
Sense of urgency
-
Kepekaan terhadap peluang
Sedangkan gaya hidup yang dibutuhkan adalah:
-
Multiple Stream of Income (MSI).
-
Aktif di komunitas, baik fisik maupun maya.
Mari kita bahas satu persatu.
Orientasi Hasil
Bila kita menjadi karyawan swasta –apalagi di industri IT–, kita sulit untuk santai. Selalu ada atasan yang memantau kinerja kita. Terlihat chatting atau browsing, pasti akan langsung diajak diskusi mengenai pemanfaatan jam kerja yang efisien. Dengan demikian, performa kita akan selalu kinclong, karena dimonitor dan diingatkan sepanjang waktu.
Lain halnya bila kita menjadi wirausahawan. Tidak ada lagi atasan yang memantau kinerja kita dan mengingatkan bila kita mulai tidak fokus. Mau berpola hidup PNS, monggo. Mau sampai di kantor jam 11 pulang jam 14, silahkan.
Ini merupakan tantangan bagi kita. Kita harus memacu diri sendiri untuk menghasilkan sesuatu. Bila kita programmer, harus menghasilkan kode program. Bila kita instruktur pelatihan, harus menghasilkan modul pelatihan dan slide presentasi. Tanpa orientasi terhadap hasil, dapur bisa berhenti ngebul.
Sense of Urgency
Mirip dengan orientasi hasil, di lingkungan karyawan kita memiliki atasan yang rajin menagih hasil kerja kita. Setelah hasil kerja kita serahkan, biasanya akan diperiksa dulu sebelum kita berikan pada client.
Berbeda halnya bila kita berwirausaha. Bila kita tidak memiliki sense of urgency, semua delivery ke client akan terlambat dan berkualitas rendah, karena tidak ada yang menagih dan memeriksa pekerjaan kita.
Kedua hal ini, orientasi hasil dan sense of urgency sepintas nampak seperti hal sepele dan sudah menjadi kondisi yang umum. Tapi walaupun ini terkesan common sense, tapi ternyata sangat berat dilakukan tanpa adanya atasan yang mengawasi. Penguasaan kita terhadap dua hal ini akan menentukan apakah kita bermental bos atau karyawan. Tanpa kedua hal ini, walaupun kita menjadi karyawan, sulit untuk meningkatkan karir di kantor.
Kepekaan terhadap peluang
Sebagai karyawan, bila tidak berada di departemen business development, marketing, atau sales, biasanya kita tidak mampu mengenali peluang bisnis. Kepekaan terhadap peluang adalah suatu kemampuan yang harus dilatih terus menerus, mirip seperti kemampuan mendesain aplikasi.
Saat belum terlatih, kita tidak bisa melihat peluang bisnis, bahkan walaupun sudah disodorkan di depan mata. Berikutnya, kita bisa mengenali peluang, tapi belum bisa membedakan mana yang angin surga dan mana peluang betulan. Bila sudah mahir, kita bisa mengendus dari sekian banyak peluang, mana yang akan menghasilkan imbal hasil yang paling menguntungkan.
Inilah yang saya sebut di atas “memiliki jiwa sales”. Sebagai pendiri perusahaan, tugas utama kita adalah mendatangkan bisnis ke dalam perusahaan. Menjadi seorang deal-maker. Bila perusahaan kita tidak mendapat project, karyawan tidak ada kerjaan, ini adalah tanggung jawab founder.
Tanpa kemampuan ini, perusahaan tidak akan jalan, tidak peduli sepintar apapun programmer yang dimiliki. No sales, no company.
Multiple Stream of Income
Sebagai karyawan yang loyal, biasanya kita hanya memiliki satu sumber penghasilan, yaitu gaji. Kondisi ini menyulitkan kita bila tiba-tiba ingin banting setir menjadi pengusaha. Seperti kita tahu, menjadi pengusaha penuh dengan ketidakpastian income. Kadang panen raya, kadang paceklik. Tidak ada bisnis yang terus menerus sukses. Bila Anda percaya ada bisnis yang tidak bisa gagal, hati-hati, bisa jadi Anda akan masuk koran sebagai investor blue energy yang ternyata palsu.
Untuk mengatasi perbedaan suasana ini, saya anjurkan untuk membiasakan diri mencari penghasilan tambahan di luar gaji. Setidaknya selama dua sampai tiga tahun, cobalah untuk mencari penghasilan diluar gaji. Tentunya dilakukan dengan cara yang profesional dan etis. Bila sumber penghasilan kita sudah lebih dari satu, maka kita sudah memiliki Multiple Stream of Income (MSI).
Ada beberapa keuntungan yang didapat dari MSI ini. Pertama, terutama bagi eks-karyawan, ini akan menghilangkan paradigma kita bahwa yang namanya penghasilan hanyalah dari gaji bulanan. Kedua, ini akan mengasah kepekaan kita terhadap peluang bisnis. Ketiga, ini akan melatih kita berorientasi hasil dan memiliki sense of urgency. Keempat, ini akan menambah keyakinan diri bahwa tanpa gaji rutin kita tetap bisa survive.
Saya sendiri sudah memiliki MSI sejak lulus kuliah. Dua tahun terakhir sebelum saya benar-benar berhenti jadi karyawan, saya mulai mencatat income saya, baik dari gaji maupun dari yang lainnya. Di akhir tahun pertama, proporsi pendapatan gaji dengan non-gaji berbanding 85:15. Di tahun kedua, proporsinya naik menjadi 65:35. Artinya, hanya dengan menggunakan 10-15% waktu, saya mampu menghasilkan 35% penghasilan tahunan saya.
Kemudian hal ini saya bicarakan dengan keluarga. Siapkah mereka hidup dengan hanya 35% saja dari income biasa? Tentunya dengan imbalan waktu yang lebih fleksibel untuk keluarga dan potensi penghasilan yang tidak terbatas.
Alhamdulillah keluarga saya menyatakan siap berjuang bersama. Saat ini, setelah lima bulan berjuang, rata-rata income saya sudah lebih dari gaji semasa kerja dulu. Tidak ada yang instan. Pada masa awal dulu, kami hidup prihatin dan mengencangkan ikat pinggang.
Paradigma MSI ini akan menjadi lebih penting setelah kita memiliki usaha sendiri. Bila kita mengerjakan project software development, harus selalu ada lebih dari satu project yang berjalan bersamaan. Bila kita mengadakan pelatihan, harus ada pemasukan dari sesi training, lisensi materi pelatihan, dan penjualan buku atau sampel kode program.
Aktif di komunitas
Rasulullah bersabda bahwa silaturahmi akan membuka pintu rejeki. Brian Tracy dan Robert Kiyosaki mengatakan bahwa aliran kas masuk berbanding lurus dengan komunikasi keluar. Hasilnya mungkin tidak terlihat langsung, tapi bisa terasakan dampaknya.
Di ArtiVisi, kita mengikuti filosofi tersebut. Saya dan Ifnu aktif mengisi blog dan berkontribusi di milis Java. Motif utamanya tentu saja sedekah ilmu dan mencari pahala. Kalau kemudian ada project yang datang dari komunitas, kami anggap itu sebagai bonus dan juga konsekuensi logis dari aktifitas tersebut.
Demikianlah sedikit sharing pengalaman mendirikan perusahaan baru. Masih panjang jalan yang harus ditempuh untuk membesarkan perusahaan yang baru seumur jagung ini. Di atas semua usaha, tentunya doa memiliki peranan yang paling penting.
Harapan saya, dengan artikel ini akan banyak pengusaha baru yang bisa membuka banyak lapangan kerja. Di satu sisi, banyak training centre dan software development company memang akan menambah saingan ArtiVisi. Tapi di sisi lain, kami jadi bisa berjualan lisensi materi pelatihan, project management training, dan consulting kepada para kompetitor.
Ayo jadi pengusaha !!